shiafrica.com

Petral Sudah Bubar, Kok Jokowi Masih Sebut Mafia Migas?

Petral Sudah Bubar, Kok Jokowi Masih Sebut Mafia Migas?

Gustidha Budiartie, Indonesia
17 December 2019 12:36
Petral Sudah Bubar, Kok Jokowi Masih Sebut Mafia Migas?
Foto: Presiden Joko Widodo (Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr)
Jakarta, Indonesia- Istilah mafia migas dan mafia importir minyak kembali jadi pembahasan hangat. Ini gara-gara Presiden Joko Widodo jengkel bukan main soal pembangunan kilang yang macet selama 34 tahun terakhir.

Sejak November lalu, Jokowi tak berhenti soal pentingnya membangun kilang untuk menekan impor minyak dan petrokimia Indonesia yang jumlahnya bisa mencapai ratusan triliun.



Jokowi curiga ada oknum yang mau ganggu Indonesia dengan terus-terusan impor minyak.

Pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) yang digelar akhir November lalu, Jokowi juga mengatakan mengetahui orang yang 'doyan' impor minyak dan gas (migas). Ia tak segan-segan 'menggigit' mereka yang mencoba menghalangi Indonesia mengurangi impor migas. Selama ini impor migas jadi penyebab defisit neraca dagang dan CAD.

[Gambas:Video ]


"Saya tahu yang impor siapa sekarang. Enggak akan selesai kalau masalah ini tidak kita selesaikan," tegas Jokowi.

Jokowi berjanji akan memberantas para penyuka impor migas. Jokowi menyinggung soal masih ramainya impor minyak dan LPG. "Ada yang senang impor tapi tidak mau diganggu impornya. Baik itu minyak maupun LPG. Ini yang akan saya ganggu," kata Jokowi.

Ia berjanji akan memberantas para penyuka impor migas. Jokowi menyinggung soal masih ramainya impor minyak dan LPG. "Ada yang senang impor tapi tidak mau diganggu impornya. Baik itu minyak maupun LPG. Ini yang akan saya ganggu," kata Jokowi.

Soal gangguan importir, ini pula jadi alasan Jokowi menempatkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pertamina.



Soal mafia migas ini memang isu sensitif, sebelum dibongkar oleh tim tata kelola dan reformasi migas pada 2015 lalu, Pertamina sendiri membantah soal adanya praktik mafia dalam impor minyak RI.

Bayangkan, dengan konsumsi mencapai 1,3 juta barel sehari sementara produksi hanya di kisaran 750 ribu barel hingga 800 ribu barel sehari, ada selisih sampai 500 ribu barel sehari yang bisa jadi ceruk para mafia untuk mendapat cuan dari impor minyak.

Jokowi juga gemas bukan main soal hal ini. KPK bahkan menetapkan mantan bos Petral sebagai tersangka korupsi, setelah 5 tahun lebih melakukan penyelidikan.

Tapi, Oktober lalu sektor migas sempat dihebohkan dengan kelahiran PIMD atau Pertamina International Marketing & Distribution, Pte Ltd (PIMD). Berfungsi sebagai trading arm baru, berbagai pihak khawatir PIMD merupakan reinkarnasi dari Petral.



Salah satu yang khawatir adalah Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto yang dulu juga pernah menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina.

Ia menekankan untuk peningkatan efisiensi perusahaan lebih baik tidak ada campur tangan perantara dalam transaksi. "Jangan ada perantara, fungsinya harusnya prosesnya bisa langsung," kata dia saat dijumpai di SKK Migas, Kamis (10/10/2019).

Pertamina sendiri menegaskan bahwa pendirian trading arm Pertamina International Marketing & Distribution, Pte Ltd (PIMD) bukan untuk mengganti Petral.

"Petral merupakan trading arm Pertamina dalam import minyak mentah untuk kebutuhan domestik, sedangkan PIMD merupakan trading arm untuk menjual produk Pertamina maupun produk pihak ketiga di pasar international. Jadi jelas PIMD jangan disamakan dengan Petral, karena PIMD fokus untuk menghasilkan pendapatan tambahan melalui penjualan di luar negeri. Jadi bukan untuk memenuhi kebutuhan domestik," kata Fajriyah Usman, VP Corporate Communication Pertamina dalam siaran pers di Jakarta (9/10/2019).

Mantan Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng mengatakan praktik mafia migas sebenarnya sudah tidak ada di tubuh PT Pertamina (Persero) sejak dibubarkannya Petral pada 2015 lalu. "Kita sudah matikan itu. Sejak itu trading minyak lebih transparan, lewat ISC Pertamina," kata Tanri saat berkunjung ke Indonesia, beberapa hari lalu.



Berkat matinya Petral, Pertamina bisa berhemat hingga US$ 800 juta setahun karena sudah tidak perlu lagi urus tetek bengek impor. Nah, mestinya dengan sudah tak urus soal tetek bengek ini Pertamina bisa fokus ke proyek-proyek hulu maupun hilir. Salah satunya adalah pembangunan kilang di sektor hilir.

Tetapi, Tanri tak mau mengungkap siapa yang mendorong impor tersebut. Namun ia mengatakan saat ini pintu Pertamina sudah tertutup, tapi para importir itu terus mencari cara untuk mempressure pemerintah.

"Kadang langsung ke Kementerian ESDM, dia tidak bisa masuk lagi ke Pertamina karena kita blokir."

Pages

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat