Refleksi Hulu Migas RI 2024: Tantangan, Peluang dan Jalan ke Depan

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi Indonesia.com
Minyak dan gas bumi adalah kekayaan alam Indonesia yang penting. Sumber daya alam (SDA) ini memberikan pendapatan dan energi vital bagi perekonomian nasional.
Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menetapkan negara menguasai cabang produksi penting seperti migas untuk kesejahteraan masyarakat. Pernyataannya, apakah dasar konstitusi dari founding father ini telah dijalankan dan memberikan manfaat besar buat kesejahteraan anak negeri ini?
Pertanyaan ini menjadi penting diajukan karena hal ini menunjukkan peran penting dari negara dalam mengelola SDA demi kesejahteraan bangsa. Namun demikian, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 telah mengubah dinamika pengelolaan migas, secara sadar telah membatasi kekuasaan negara.
Undang-Undang tersebut membuat negara berkontrak melalui Badan Pengelolaan Migas dan menempatkannya dalam posisi Business to Government (B2G). Kontrak keperdataan juga dapat mengurangi kedaulatan negara atas SDA, di mana apabila terjadi sengketa, negara bisa digugat ke Badan Arbitrase Nasional.
Aturan itu sesungguhnya sangat bertentangan dengan prinsip penguasaan kekayaan alam yang harus berdasarkan hukum publik. Bahkan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 telah menyataka model hubungan Badan Pengelola Migas dengan badan usaha bertentangan dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945.
Setidaknya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyoroti tiga hal penting terkait pengelolaan migas oleh Badan Pengelola Migas yang dianggap inkonstitusional. Pertama, pemerintah tidak dapat secara langsung mengelola atau menunjuk BUMN untuk mengelola seluruh wilayah kerja migas.
Kedua, negara terikat pada isi kontrak kerja sama setelah ditandatangani oleh Badan Pengelola Migas. Konsekuensinya adalah negara kehilangan kebebasannya untuk meregulasi atau mengeluarkan kebijakan yang bertentangan.
Ketiga, potensi penguasaan migas oleh badan hukum swasta dapat mengurangi keuntungan negara. Sebagai tanggapan, presiden membuat Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 dengan membentuk SKK Minyak dan Gas Bumi sebagai pengganti BP Minyak dan Gas Bumi sementara. Sayangnya, sifat sementara itu justru telah menyebabkan ketidakpastian hukum.
Ketidakpastian hukum ini pada akhirnya dapat menghambat perkembangan industri minyak dan gas bumi di Indonesia. Ini tercermin dari penurunan lifting minyak domestik. SKK Migas, sebagai representasi pemerintah dalam pengelolaan migas, hampir mirip dengan BP Migas karena masih terikat pada hukum perdata.
Urgensi BUMN Khusus
Merespons hal tersebut, selanjutnya terdapat usulan dalam draf RUU Migas untuk membentuk BUMN Khusus sebagai pengelola migas di Indonesia. Usulan ini memungkinkan peran BUMN Khusus untuk memberikan kekuasaan pengelolaan migas. Langkah ini paling tidak menjadi bentuk konsesi dari negara dalam mengelola SDA yang dianugerahkan kepada negara ini.
Seiring dengan usulan ini, ada usul bahwa SKK Migas akan menjadi BUMN Khusus dalam pengelolaan migas. Hal ini tentunya menarik untuk dibahas terkait rencana perubahan status SKK Migas menjadi BUMN Khusus dalam draf Revisi UU Migas.
Dalam pandangan penulis, setidaknya ada dua permasalahan yang perlu diangkat. Pertama, mengenai model pemberian konsesi dari pemerintah kepada BUMN Khusus. Kedua, apakah perubahan status SKK Migas dapat menguatkan statusnya dan menjamin kepastian hukumnya dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Sementara itu sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012, agenda Revisi UU Migas telah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional oleh Pemerintah. Sayangnya hingga saat ini, Revisi UU Migas belum menemukan kejelasan.
Padahal, revisi tersebut sangat penting untuk menjamin kepastian hukum terkait pengelolaan migas di Indonesia. Klarifikasi mengenai status lembaga pengganti BP Migas, yaitu SKK Migas, diperlukan karena saat ini hanya diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013.
Sejauh ini DPR RI telah mengusulkan beberapa bentuk pengganti BP Migas di dalam Revisi UU Migas. Sorotan terbesarnya tertuju pada draf versi Maret 2014 yang mengusulkan pembentukan BUMN Khusus Migas.
Pembentukan BUMN Khusus ini dianggap lebih ideal karena dapat mandiri dalam menjalankan operasionalisasi pemanfaatan migas. Dalam hal ini BUMN Khusus akan memiliki hak monopoli atas sektor hulu migas dan dapat menjalin kontrak kerja sama yang mengikat secara perdata.
Konsesi dalam Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi
Berdasarkan struktur kelembagaannya, SKK Migas dapat dialihkan statusnya menjadi BUMN Khusus karena telah memenuhi persyaratan pendirian badan usaha. Untuk menjamin kepastian hukum dari SKK Migas dan mendukung perkembangan sektor migas, pemerintah perlu merevisi UU Migas dan menetapkan SKK Migas sebagai BUMN Khusus melalui konsesi.
Perubahan status ini diharapkan akan memperkuat peran SKK Migas dalam pengelolaan sektor hulu migas. Selain itu, status BUMN Khusus dianggap lebih sesuai dengan konsep kontrak kerja sama keperdataan.
Selanjutnya, dalam konteks pengelolaan migas - yang notabene merupakan sumber daya alam vital - pemerintah dapat memberikan konsesi kepada BUMN atau perusahaan swasta sambil memastikan bahwa kepemilikan tetap pada hukum publik. Sementara untuk pengelolaannya dapat dilakukan oleh BUMN atau perusahaan swasta melalui kontrak kerja sama, yang mengikat secara hukum perdata.
Pemberian konsesi oleh pemerintah kepada BUMN atau swasta terkait pengelolaan SDA Indonesia ini adalah bagian dari wewenang bebas pemerintah dalam bertindak atau diskresi. Landasan utamanya kembali pada konstitusi UUD'45 Pasal 33 ayat 2.
Semua wewenang itu nantinya terkait dengan kebijakan administrasi yang memungkinkan pemerintah menetapkan lembaga non-pemerintah untuk mengelola SDA yang tidak dapat dikelola oleh pemerintah sendiri.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengatur batasan-batasan dari keputusan pejabat pemerintah dalam memberikan izin konsesi, termasuk persyaratan bahwa konsesi harus mendapatkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan. Kemudian persetujuan ini diberikan setelah kesepakatan antara pemerintah dan BUMN atau swasta, dan kegiatan yang dilakukan memerlukan perhatian khusus.
Lebih penting juga adalah PT Pertamina dapat diberi kewenangan untuk mengelola sektor migas Indonesia. Namun, hal ini bisa meningkatkan beban kerja PT Pertamina yang sudah padat. Di sisi lain, Indonesia memiliki SKK Migas yang masih beroperasi, meskipun hanya berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tanpa kepastian hukum yang memadai.
Oleh karena itu, solusi idealnya adalah pemerintah merevisi UU Migas untuk menetapkan SKK Migas sebagai BUMN Khusus yang dipercayakan untuk mengelola sektor hulu migas, dengan kewenangan yang ditetapkan oleh presiden.
SKK Migas nantinya harus tunduk pada regulasi yang telah direvisi dan diundangkan oleh pemerintah. Hal ini mengikuti prinsip lex specialis derogate legi generale yang mengutamakan hukum khusus di atas hukum umum.
Prinsip Kepastian Hukum
Perubahan status SKK Migas menjadi BUMN Khusus melalui konsesi ini secara umum bertujuan untuk memastikan kepastian hukum dari lembaga SKK Migas itu sendiri. Pemerintah yang baru disarankan untuk merevisi UU Migas agar mengatur bahwa SKK Migas adalah BUMN Khusus yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola sektor hulu migas Indonesia.
Paling tidak, BUMN Khusus ini tak lagi bersifat sektoral sebagaimana usulan pembentukan holding BUMN yang mengurus panas bumi saja. BUMN Khusus ini bisa lebih dari itu, di mana memastikan pengelolaan sektor hulu migas Indonesia bisa benar-benar memberikan kedaulatan buat negara.
Dengan menggunakan wewenang bebas atau diskresi, konsesi memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil pada akhirnya memiliki dasar hukum yang jelas. Pada akhirnya perubahan status SKK Migas menjadi BUMN Khusus melalui konsesi ini diharapkan dapat meningkatkan kepastian hukum dalam menjalankan tugasnya demi mewujudkan tata kelola SDA yang baik dan memberi manfaat buat kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.